The Art & Passion of Coffee

Kamis, 26 Juni 2014

On 17.50 by Unknown   No comments
Interaksi iklim, jenis tanah, varietas dan metode pengolahan membuat kopi Indonesia menjadi kopi yang paling menarik di dunia. 
Indonesia adalah produsen kopi keempat terbesar di dunia, dengan jumlah ekspor sebesar 300.000 ton pada tahun lalu. 75.000 ton diantaranya adalah kopi Arabika. Sembilan puluh persen dari kopi tersebut ditanam oleh petani kecil, diatas tanah seluas kurang dari satu hektar. 
Pada umumnya, kopi spesial Indonesia memiliki full body dan tingkat keasaman yang relatif rendah. Setiap kawasan dikenal dengan profil cupping nya yang khas, walaupun dalam satu wilayahpun masih dapat ditemukan keanekaragaman. Termasuk didalamnya: 
Sumatra – aroma yang kuat, dengan cita rasa kakao, tanah dan tembakau 
Java – good, heavy body, dengan rasa akhir yang bertahan dan cita rasa herbal 
Bali – lebih manis dari kopi Indonesia lainnya, dengan cita rasa kacang dan jeruk 
Sulawesi – tingkat kemanisan dan body yang baik, dengan cita rasa rempah hangat 
Flores - heavy body, manis, cita rasa coklat dan tembakau 
Papua - heavy body, coklat, tanah, dan finish rempah

Aroma kopi Indonesia berbeda karena berbagai alasan. Variabel yang paling berpengaruh adalah jenis tanah, ketinggian permukaan tanah, varietas kopi, metode pengolahan dan penyimpanan. Kombinasi faktor-faktor alam dan manusia tersebut menghasilkan “terroir” khas untuk setiap jenis kopi. 
Jenis tanah: 
Jenis tanah di dataran tinggi Aceh, Bali, Papua dan Flores pada umumnya adalah tanah Andosol, sebuah istilah yang berasal dari kata-kata dalam bahasa Jepang, “an” (hitam) dan “do” (tanah). Tanah muda ini terbentuk dari bahan vulkanis yang sangat subur, dan mengandung unsur hara mikro yang penting. 
Di wilayah produksi Arabika di Jawa dan Lintong, jenis tanah disana adalah kombinasi Andosol dan Umbrisol. Umbrisol, sama seperti Brown Podzolic, adalah tanah vulkanis tua yang sangat kaya akan bahan-bahan organik. 
Sulawesi adalah pulau tertua di rangkaian kepulauan Indonesia, yang memiliki batu-batuan di permukaan tanah yang berusia lebih dari 100 juta tahun. Selama ratusan abad tersebut, disana berkembang jenis tanah Lixisols, sama seperti jenis tanah Yellow-Red Podzolic yang ditemukan di wilayah produksi kopi. Jenis tanah tersebut kaya akan zat besi dan seringkali memiliki lapisan tanah liat dibawah permukaannya. 

Ketinggian tanah:
Semua wilayah produksi Arabika di Indonesia berada dalam ketinggian yang ideal untuk kopi Arabika, yaitu antara 1.000 hingga 1.800 meter diatas permukaan laut. Pada umumnya, semakin tinggi daerah penanamannya, kopi tumbuh lebih lambat dan menghasilkan buah kopi yang lebih kecil, padat dan lebih beraroma. 
Daerah Wamena di Papua:                            1,400 hingga 2,000 meter
Daerah Moanemani di Papua:                       1,400 hingga 1,700 meter
Daerah Tengah di Flores:                                1,200 hingga 1,700 meter
Daerah Hinggaraja di Sulawesi:                 1,000 hingga 1,700 meter
Daerah Kintamani di Bali:                             1,000 hingga 1,500 meter
Dataran Tinggi Ijen di Jawa Timur:         1,300 hingga 1,500 meter 
Daerah Lintong di Sumatra:                         1,200 hingga 1,500 meter
Daerah Aceh di Sumatra:                                1,110 hingga 1,300 meter
 Varietas:
Ada lebih dari 20 varietas Coffea arabica yang ditanam secara komersial di Indonesia. Varietas-varietas tersebut masuk dalam enam kategori utama: 
Typica – ini adalah kultivar yang pertama kali diperkenalkan oleh Belanda ke Indonesia. Sebagian besar varietas Typica ini musnah pada akhir tahun 1800-an ketika Cofee Leaf Rust melanda Indonesia. Namun, varietas Bergandal dan Sidikalang dari kultivar Typica masih terdapat di Sumatra, Sulawesi dan Flores, terutama di dataran tinggi dan di wilayah-wilayah terpencil.
Hibrido de Timor (HDT) – Varietas, yang juga disebut sebagai “Tim Tim”, adalah hasil persilangan alamiah antara Arabika dan Robusta. Pertama kali dipanen di Timor Timur pada tahun 1978, ditanam di Aceh pada tahun 1979, dan di Flores pada tahun 1980 dimana varietas ini sekarang disebut sebagai Churia. 
Linie S – Kelompok varietas ini berasal dari India, yang dikembangkan dengan menggunakan kultivar Bourbon. Jenis yang paling umum adalah S-288 dan S-795, yang dapat ditemukan di Lintong, Aceh, Flores, Sulawesi, Papua, Bali dan Jawa. 
Lini Ethiopia: Termasuk dalam lini ini adalah Rambung dan Abyssinia, yang dibawa masuk ke Jawa pada tahun 1928. Sejak saat itu, jenis kopi ini juga diperkenalkan dan dikembangkan di Aceh. Varietas Ethiopia lainnya juga ditemukan di Sumatra dan Flores, dan disebut sebagai “USDA”, sesuai dengan nama proyek pemerintah Amerika yang membawa jenis tersebut masuk ke Indonesia pada tahun 1950-an. 
Caturra cultivars: Caturra adalah hasil mutasi kopi Bourbon, yang berasal dari Brazil.
Lini Catimor – Ini hasil persilangan Arabika dan Robusta yang terkenal memiliki aroma yang kurang baik. Namun, ada beberapa jenis Catimor, termasuk diantaranya yang disebut sebagai “Ateng-Jaluk” oleh para petani. Sebuah penelitian yang sedang berlangsung di Aceh menunjukkan adanya varietas Catimor hasil adaptasi lokal yang memiliki karakteristik cup yang unggul. 
Metode panen dan pengolahan:
Semua kopi arabika Indonesia dipanen tanpa menggunakan mesin, baik yang ditanam oleh petani kecil atau oleh perkebunan ukuran menengah. Karena buah kopi tidak matang pada waktu yang bersamaan, petani harus melakukan panen sekali setiap sepuluh hari, dalam periode lima hingga enam bulan. Hal tersebut membuat petani dapat hanya memetik buah yang merah dan matang saja, untuk mendapatkan kualitas terbaik dalam penampilan, aroma, dan rasa. Bila panen dilakukan menggunakan mesin, buah yang belum matang benar akan menghasilkan aroma kopi yang tipis dan profil cupping yang keras. 
Setelah panen, kopi spesial Indonesia diolah dengan berbagai cara, dan masing-masing cara menambahkan aroma dan cita rasa tersendiri pada produk akhirnya. Pada umumnya, ciri-ciri tersebut meningkatkan kualitas kopi. Namun, pengolahan yang buruk dan tidak merata juga dapat menghasilkan aroma yang tidak sesuai dan kerusakan. Ada tiga metode pengolahan utama yang digunakan – metode kering, kupas basah (wet hulled / semi washed) dan pencucian penuh (washed). 
Sejumlah kecil petani di Sulawesi, Flores dan Bali menggunakan metode yang paling tradisional, yaitu pengolahan kering. Petani-petani tersebut mengeringkan biji kopi mereka hanya dengan menjemurnya di bawah sinar matahari. Metode tersebut menghasilkan aroma fruity, beragi atau sweet earthy pada biji kopi yang sudah kering. Setelah pengeringan, buah kopi kering tersebut dikupas, dengan menggunakan mesin untuk memisahkan kulit luar buah yang kering dan cangkang yang membungkus biji kopi. 
Sebagian besar petani di Sulawesi, Sumatra, Flores, dan Papua menggunakan proses unik yang disebut sebagai pengupasan basah atau wet-hulling (juga sering disebut sebagai semi washed). Menggunakan teknik ini, para petani mengupas kulit luar buah kopi dengan menggunakan mesin pengupas tradisional yang disebut “luwak”. Biji kopi, yang masih berselaput getah, kemudian disimpan hingga selama satu hari. Setelah masa penyimpanan, biji kopi dibersihkan dari getah dan kopi tersebut dikeringkan dan siap untuk dijual. 
Beberapa pabrik penggilingan besar, perkebunan dan koperasi tani di Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Bali memproduksi kopi dengan menggunakan metode pencucian penuh. Pertama, buah kopi yang matang digiling untuk mengupas kulit luarnya. Kopi yang telah dikupas kemudian ditempatkan dalam tangki atau tong untuk difermentasi selama 24 hingga 36 jam. Setelah difermentasi, biji kopi dicuci dan ditebarkan untuk dikeringkan diatas lantai semen atau meja-meja pengeringan. Setelah kering, cangkang atau pergamino menjadi mudah lepas dan rapuh. Kemudian, biji kopi dikupas dalam keadaan kering dan siap untuk disortir menggunakan mesin dan tangan sebelum dikemas dan diekspor. 
Setelah pengupasan, kopi kemudian disortir berdasarkan ukuran, berat dan warna, pertama menggunakan mesin dan kemudian menggunakan tangan. Terakhir, kopi dikemas dalam kemasan khusus bahan makanan berukuran 60 kilogram untuk ekspor. Sepanjang pelaksanaan proses, dilakukan cupping test untuk memastikan bahwa kopi tersebut memenuhi standar specialty grade.
Setelah penyortiran, beberapa produsen menyimpan kopi mereka selama satu hingga tiga tahun sebelum dipasarkan. Proses ini mengembangkan aroma woody dan kayu manis, dengan karakter yang sangat ringan dan hangat. Biji yang berwarna hijau akan berubah menjadi kuning tua hingga coklat. Roaster suka mengunakan kopi ini sebagai bagian dari racikan khusus, untuk saat Natal misalnya, dimana aroma kayu manis hangat sangat disukai. 
Beberapa perusahaan menghasilkan produk yang disebut sebagai “Kopi Luwak”, yang merupakan kopi yang sangat langka di dunia. Kopi Luwak diproses menggunakan cara yang unik, yaitu dengan menjadikannya sebagai makanan bagi hewan luwak, spesies lokal sejenis musang. Sistem pencernaan luwak akan mencerna lapisan buah. Setelah melalui sistem pencernaan hewan luwak tersebut, biji kopi dicuci dan disortir. Kopi yang dihasilkan bernilai tinggi karena kelangkaannya dan aroma yang berbeda. 
Terima kasih kepada Kornel Gartner, Anthony Marsh, Dr. Jeff Neilson, Trish Rothgeb dan Peter Slack yang telah memberikan masukan berharga untuk bagian ini. 

0 komentar:

Posting Komentar